BIREUEN - Tak mudah menggeluti usaha satu ini. Butuh waktu dan konsentrasi tinggi untuk menyelesaikannya. Hal inilah yang menyulitkan pemasaran tudung saji motif yang dalam Bahasa Aceh dikenal dengan nama Sangee. Kini, produk Sangee kian lekang termakan zaman.
Lazimnya pemakaian sangee diwajibkan dalam upacara-upacara adat tertentu semisal peusijuk, tueng dara baroe, dan lain sebagainya. Sangee digunakan sebagai penutup nampan bulat yang diisi aneka macam barang kebutuhan untuk prosesi adat tersebut.
Saat itu pula, tak heran aneka motif cantik terlihat pada balutan sangee di manapun. Menggunakan kain perca, campuran warna dan motif berbagai ukuran menjadikan balutan sangee ini cantik, elegan dan menarik minat pengguna untuk memburunya sebagai kelengkapan prosesi adat.
Tak demikian saat ini, perkembangan zaman turut menyusutkan pemakaian sangee Aceh yang kini terbatas ditemui. Terkecuali di desa-desa, kalangan perkotaan di Aceh sudah menggantikan produk penutup seperti sangee ini memakai bentuk lain yang terkesan simple, namun mewah. "Contohnya pada "bawaan" pengantin dari lintoe baroe (pengantin laki-laki), menatanya pada kotak-kotak khusus yang isinya tak perlu ditata," ungkap Fatimah (55), perempuan pemuka adat di Kecamatan Kota Juang, Kabupaten Bireuen, Kamis (2/5/2013).
Sedangkan pada masa kejayaan sangee, dibutuhkan keahlian khusus bagi perempuan-perempuan di desa untuk menata, membentuk hingga mendekor isi dalam sange yang beralas talam. Hasilnya, menarik saat dibuka oleh sang dara baroe (pengantin perempuan) dan keluarganya.
Kondisi memprihatinkan itu pada akhirnya menyurutkan semangat perajin tudung saji motif alias sangee, memodifikasi buatan mereka. Di samping minat konsumen kurang, pemasarannya juga terbilang sulit belakangan ini.
Nurhayati (47), perajin sangee Aceh asal Desa Blang Dalam, Kecamatan Makmur, Kabupaten Bireuen, mengaku berupaya terus menghasilkan ragam model dengan desain warna terbaru guna menimbulkan daya tarik bagi peminat. Kendati pemasaran khusus tak ada, ia siap menerima order dari siapapun yang memintanya. "Memang sejak dulu saya tidak memasarkan secara luas, karena modal minim, hanya saja bila datang pesanan saya siap menyelesaikan dalam waktu ditentukan," sebut Nurhayati pélan.
Seraya terus menata letak secarik kain perca yang ia lekatkan pada alas daun iboih yang telah dibentuk persis menyerupai tudung, ia mengaku minat penyuka sangee Aceh berkurang pasca tsunami melanda Aceh beberapa tahun lalu. Sejak saat itu, persaingan produk dihasilkan dengan mesin jauh lebih bagus dan sempurna, ditambah kebutuhan memakai tudung saji bermotif mulai langka digunakan.
"Sedangkan, tudung saji saya semuanya menggunakan tangan, terkesan kurang rapi di sana-sini meskipun teliti saya mengupayakan," cetus ibu empat anak ini.
Mengandalkan kedua belah tangannya, Nurhayati ekstra hati-hati mengerjakan sangee agar keseimbangan warna juga ukuran tidak bercela. Bagi Nurhayati, penyelamatan motif Aceh perlu dipertahankan sehingga ia ekstra hati-hati dalam menempatkan warna sekecil apapun itu. "Karena setiap warna mencerminkan daerah masing-masing di Aceh, jadi tidak semua sama antara satu kabupaten dengan kabupaten lain di Aceh," terangnya.
Otomatis harga sangee buatan tangan ini dibandrol mahal dibanding produk mesin. Sangge tangan dihargai Rp 50.000 hingga Rp100.000 per buah, tergantung ukuran dan ragam desain yang ditampilkan. Sedangkan, sangee Aceh yang bebas dijual di pasaran—biasanya berwarna senada alias satu warna saja—dijual hanya berkisar Rp15.000 hingga Rp30.000 per buah saja.
Sumber:"Kompas"
No comments: