Banda Aceh - Peringatan Hari Buruh Internasional yang jatuh pada Rabu (1/5) diwarnai dengan aksi unjuk rasa di beberapa daerah, seperti Banda Aceh dan Lhokseumawe. Mereka menuntut penerapan upah yang layak, pengesahan qanun (perda) ketenagakerjaan dan pengaktifan kembali proyek-proyek vital di Aceh.
Di Banda Aceh, puluhan buruh yang tergabung ke dalam Koalisi Mayday Aceh 2013 saat berunjuk rasa di gedung DPRA di Banda Aceh, kemarin, menyatakan menolak upah murah, dan menuntut upah layak bagi pekerja/buruh di Aceh. Mereka juga meminta DPRA mengesahkan Qanun ketenagakerjaan yang akomodatif dan aspiratif di Aceh.
Setelah berorasi di DPRA, sekitar pukul 10.15 WIB mereka menuju kantor Gubernur Aceh untuk menyatakan tuntutan yang sama.
Koordinator Aksi, Ruslan, mengatakan, dalam dinamika dan perkembangan hubungan industrial dan ketenagakerjaan dewasa ini masih banyak persoalan pekerja/buruh yang terjadi dan belum mendapatkan solusi serta penyelesaian efektif.
“Persoalan upah murah yang dialami para pekerja di berbagai sektor usaha dan profesi masih menjadi perhatian serius pekerja demi mendapatkan kesejahteraan,” ungkapnya.
Menurutnya, tidak adanya pengawasan efektif dari pemerintah telah menyebabkan ratusan ribuan pekerja/buruh di Aceh kehilangan hak normatif. Status kerja yang tidak jelas dengan penerapan sistem kerja kontrak dan sistem kerja alih daya (outsourcing) yang bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Ketenagakerjaan dan peraturan lainnya.
“Pelanggaran ini justru terjadi di perusahaan milik negara, seperti Pertamina Rantau Aceh Tamiang, PLN, Telkom, perbankan dan perusahaan lain di Aceh,” paparnya.
Buruh meminta pengahpusan sistem kerja alih daya ini karena hanya menyengsarakan pekerja. Apalagi, dengan masih minimnya kesejahteraan buruh, menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah untuk menyejahterakannya, termasuk memberikan program jaminan sosial.
“Sehingga, hak dasar selaku warga negara dapat dipenuhi dan rakyatpun dapat merasakan pelayanan dari pemerintah sebagai konsekuensi bernegara,” tegasnya.
Aktifkan proyek vital
Di Kota Lhokseumawe, puluhan buruh dan mahasiswa yang tergabung dalam Koordinator Wilayah II Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Aceh, juga menuntut pemda menciptakan lapangan kerja bagi pengangguran dengan mengaktifkan kembali proyek-proyek vital di Lhokseumawe dan Aceh Utara.
Tuntutan itu disampaikan buruh dan mahasiswa ketika berunjukrasa di Gedung DPRK Lhokseumawe dan Aceh Utara. Dalam kesempatan itu, mereka mengajukan petisi yang isinya antara lain, meminta Balai Latihan Kerja (BLK) diaktifkan, memprioritaskan sumber daya manusia (SDM) daerah daripada luar daerah di proyek-proyek vital, menciptakan lapangan kerja bagi pengangguran dan mengaktifkan kembali proyek vital di Lhokseumawe dan Aceh Utara.
Mahasiswa dan buruh berkumpul di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe, sekitar pukul 09.30 WIB, kemudian berjalan kaki ke gedung DPRK Aceh Utara. Kedatangan mereka diterima Ketua Fraksi Gabungan, Ridwan Yunus, yang kemudian berjanji memperjuangkan petisi itu.
Demonstran lalu berorasi di Simpang Jam Kota Lhokseumawe, lalu mendatangi DPRK Lhokseumawe. Ketua DPRK, Saifuddin Yunus, juga mengakomodir tuntutan mahasiswa dan buruh.
Dewan Pengurus Cabang Serikat Buruh Aceh (DPC SBA) Kota Lhokseumawe, Marzuki Ssos, mengajak buruh bersatu membangun kebersamaan memperjuangkan hak-haknya. Pekerja juga diajak memenuhi kewajiban sesuai perundang-undangan yang berlaku.
Pihaknya juga mengusulkan kepada pemda, baik provinsi maupun kabupaten/kota supaya memperhatikan lebih serius tenaga kontrak yang dipekerjakan di instansi pemerintah, swasta perguruan tinggi negeri dan swasta, baik dalam sistem pendapatan, jaminan sosial dan tunjangan lainnya dengan mengacu kepada upah minimum provinsi (UMP) dan UU Ketenagakerjaan.
Dia juga mengimbau seluruh perusahaan yang menerapkan sistem alih daya supaya memperhatikan kewajiban-kewajiban untuk memberikan hak-hak pekerja sesuai UU.
Karyawan PIM
Di tempat terpisah, ratusan karyawan yang tergabung dalam serikat pekerja Pupuk Iskandar Muda (SPPIM) berunjukrasa di depan pintu gerbang perusahaan sekitar pukul 07.00 WIB.
Mereka mendesak pemerintah menjalankan Inpres No 2/2010 secara konsisten dengan mengutamakan pasokan gas untuk kepentingan industri dalam negeri, antara lain pasokan gas untuk PIM dengan harga wajar dalam usaha mendukung ketahanan pangan nasional.
Ketua Umum SPPIM, Asril Naimy, mengungkapkan, saat ini PIM hanya bisa mengoperasikan satu unit pabrik karena pemerintah tidak mampu memenuhi kebutuhan gas untuk mengoperasikan dua unit pabrik. Ini terjadi sejak 2005.
Karena itu, pihaknya mendesak Exxon-Mobil berkontribusi dengan mengalokasikan gas untuk kebutuhan dalam negeri. Sudah cukup ekspor dilakukan selama 37 tahun.
Mereka juga menuntut supaya perjanjian jual beli gas alam cair (LNG) agar dikaji ulang dan hanya menguntungkan Exxon-Mobil. Karena, setiap terjadi gangguan pasokan gas, pasti menimbulkan kerugian besar bagi PIM, tegasnya.
Sumber:"Analisadaily"
No comments: